Selasa, 15 Juli 2014

Cara yang benar membuat kopi

  Menurut sebuah cerita kuno di Etiopia, suatu senja di abad ketiga. Seorang pengembala mendapati kambingnya memakan biji-bijian berwarna merah mengkilap. Hewan peliharaan itu senang dan menari-nari memakan biji tersebut. Dengan rasa penasaran berlipat, pengembala itu mencoba biji-bijian yang dimakan kambingnya. Hal ajaib terjadi, beberapa saat kemudian, mereka telah menari bersama dan minuman bernama kopi pun muncul ke bumi. Di Cina, seiring waktu, legenda itu bisa sedikit berubah. Saat matahari beranjak musnah, musim dingin yang keterlaluan memaksa kaisar Sheng Nung menghabisinya dengan minuman hangat. Ia kemudian meminta dayang untuk menyeduh sesuatu. Lalu, seperti tiba-tiba, sepucuk daun teh jatuh di cangkirnya.  Tapi, apapun itu maknanya sama; semua minuman hebat selalu ditemukan orang yang sedang bingung menjelang malam.
  Termasuk ayah. Sore itu aku melihatnya kebingungan di hadapan beberapa buku. Aku tahu diantaranya, tapi lebih banyak yang tak ku ketahui. Termasuk tulisan terbaru Thomson, berjudul Understanding Food: Principles and Preparation. Ia tampak sibuk mencari-cari kalimat yang pas untuk mewujudkan penemuanya. Akhir-akhir ini ayah sedang tergila-gila pada kopi. Ia ingin mencari cara terbaik menyajikan kopi. Aku memandanginya dengan serius. Ku kira orang sudah begitu gila jika sedang berfokus pada sebuah hal. Tiap kali menemukan catatan yang tepat ia akan mengepalkan tanganya seperti meninju langit meneriakan sesuatu, dan tiap kali itu juga aku melontarkan pertanyaan pada ayahku yang sabar dan tahu segalanya. Siapa itu Aucuba ayah ?. Ia lelaki yang bertemu si pengembala.  Kemudian membawa biji-biji kopi itu ke Timur-Tengah. Dari sana, kekaisaran Turki Ottoman memperkenalkanya di konstantinopel dan membuka Kiva Han . Apa itu Kiva Han ayah? Ia semacam kedai khusus kopi yang berdiri pertama kali. Konon, di tempat itulah kopi ternikmat di dunia pernah dibuat. Sekarang kau tak usah pergi kesana untuk mendapatkan kopi, mungkin itu semacam cikal bakal StarBuck.
  Aku menatap ayah dengan penjelasanya yang membuatku lebih penasaran. Ia menunjukan lambang StarBuck, mirip secangkir kopi yang masih hangat. Di tempat itu ayah sering berdiskusi dengan paman John. Ia seorang pemikir kelas kakap. Orang tuanya memberinya nama John untuk mengingat kapten John Smith yang memperkenalkan minuman kopi di Amerika Utara saat bertugas menemukan koloni Virginia di Jamestown. Keluarganya adalah penggemar berat kopi, termasuk ia sendiri. Orang-orang penggila kopi macam mereka biasanya cukup cerdas. Mereka jarang tidur saat malam, dan menghabiskanya untuk membaca buku. Paman John juga sangat betah membaca. Ia sudah mirip kaum nastik yang berjalan dari kota ke kota, dusun ke dusun mencari murid atau lawan debat filsafat. Orang jenis ini adalah pendebat yang tangguh. Ia meragukan banyak hal, termasuk asal usulnya. Paman John tak percaya jika leluhur manusia berasal dari surga. Ia seorang atheis sejati, penggemar sejarawan Roel Jacobs, yang menertawakan keaslian kanal Rozenhoedkai di Bruges. Atau mungkin, ia lebih mirip dengan pemuda amerika kebanyakan pada zamanya.
   Orang modern hanya percaya ilmu pengetahuan.
  Biasanya, jika sudah berdebat cukup lama. Ayahku selalu mengakhirinya dengan kutipan Einstein, orang yang tak percaya misteri adalah mereka yang tak hidup. Itu adalah kata pamungkas ayah untuk membuat paman John semakin terdesak. Dari sini terlihat perbedaan yang sangat antara ayah dan paman John. Kemudian dengan lagak seperti patung The Thinker yang tiruanya ada di sisi sebelah barat cafe, paman John akan membuat sejumlah dalih yang mengesankan untuk membuktikan kegagalan Einstein, tentunya setelah menarik diri dari Fisikawan kuantum. “Einstein salah ketika ia memutuskan jika di dunia tak ada yang kebetulan”. Begitu bicaranya cepat.
  Aku terus tertawa mendengar perdebatan mereka. Barulah aku tahu, jika orang-orang pintar akan terlihat bodohnya ketika mereka saling bertatap muka.
  Mereka sebenarnya telah bersahabat cukup lama. Kalaupun ada hal yang membuat mereka terus bersahabat, itu hanya karena dua hal saja, yang pertama tentu kopi, dan kedua adalah petualangan. Pernah sangking gilanya pada kopi, ayah dan paman John pergi ke Konstantinopel untuk membuktikan apa Kiva Han memang pernah ada. Mereka ingin menikmati seteguk kopi dari peradaban yang sangat purba. Meski sebenarnya, yang tertarik pada hal ini hanya ayah, sedang paman John tak percaya jika ada asal-usul segala sesuatu. Disana ia hanya ingin menikmati kopi saja, tak lebih dari itu, apalagi untuk menyelidiki Kiva Han atau membuktikan keaslian patung-patung wanita seronok di pusat kota yang konon adalah peninggalan bangsa Romawi. Tapi jika memang di alun-alun yang dulu bernama Augustaeum itu benar warisan asli Romawi. Ia pun akan cepat menebak jika orang Romawi adalah bangsa yang hobi terburu-buru. Disana-sini memang terlihat patung, ubin, dan pilar-pilar pualam yang designnya sulit dikatakan, tapi jelas terlihat juga. Semua benda seperti di letakan begitu saja, tanpa perencanaan dan pertimbangan yang matang. Seperti kebetulan tentu.
  Menurut cerita ayah, ia berada disana hampir tujuh hari. Ia akan tertawa sendiri tiap kali bercerita tentang kegeraman paman John dengan alun-alun itu. Selebihnya ia akan diam saja. Ayah tidak pernah menyelesaikan seluruh ceritanya, ia hanya bercerita yang teringat saja, bukan yang dialami seluruhnya. Pada hari-hari itu, mereka berkeliling alun-alun Konstantinopel dan sedikit menikmati peninggalan tempat pacuan kuda di Hippodromos, pemandian Zeuxippus yang terkenal hingga Tanduk Emas. Dari tempat terakhir ini, Konstantinopel tampak seperti kota yang terapung di atas air, sementara pucuk-pucuk langit seperti mencelupkan jari-jarinya dari atas, mirip orang yang hendak merasakan apakah minumannya sudah dingin atau panas. Di daerah sepanjang Tanduk Emas, terdapat kedai-kedai kecil di pinggirnya. Dengan Laut Marmara di sisi barat, muara itu membentuk semenanjung dengan pelabuhan alam yang dalam. Saat malam, disini akan tampak berkilauan jika dilihat dari menara Galata, hampir-hampir serupa Fort Knox.
  Ayah dan paman John, berkali-kali keluar masuk kedai kopi. Dan tiap kali keluar kedai-kedai tersebut, ekspresi mereka sama, mengernyitkan dahi dan mengeleng-gelengkan kepala. Barangkali ini bisa jadi persamaan ketiga mereka. Lalu mereka bilang, “kopi Arabica atau Robusta yang tak terlalu spesial”.
  Sebetulnya, perjalanan itu juga tak terlalu sia-sia. Pada hari ke tujuh, saat mereka merasa sudah tidak bisa menemukan kopi yang hebat, keajaiban muncul. Keajaiban memang muncul di jam-jam akhir, ketika orang berada pada puncak kebingungan”, begitu kata ayah.
  Dari sini, soal kopi, ayah dan paman John memang mempunyai banyak kemiripan. Kepala mereka seperti terpasang antenna belalang untuk mengenali mana kopi yang baik atau tidak. Dan, di wilayah itu mereka menemukanya bukan di café yang berinterior elegan dengan panduan musik Fedorovinsky, tapi hanya kedai kopi kecil bearoma eucalyptus. Mereka memasuki kedai itu dengan tergesa. Di dalam ada beberapa pelanggan. Dari sebuah sudut jendela dua burung flamingo yang satu berwarna putih, dan satunya berwarna zaitun cerah tertimpa terpaan matahari sore seakan mengamati orang-orang yang sedang menyereput kopi sambil terkikik. Lalu seorang wanita yang cukup cantik, rambutnya ikal, jelas masih terlihat sisa pesonanya saat muda. Kini, mungkin ia berumur sekitar tiga puluhan, dan pesona itu tetap ada, hanya saja telah tergantikan dengan pesona yang lain: kehebatan meramu kopi. Kemudian ia memberikan daftar kopi yang ada di kedai. Wanita itu mencatat pesanan kami, bicaranya khas Perancis dengan logat seperti jakun yang hampir tertelan. Tampaknya, ia tak terlalu menyukai tamu berbahasa Inggris seperti kami. Kami kemudian memesan kopi Java. Di kedai ini kopi Java menjadi menu utama.
  Perempuan itu lalu membalikan tubuhnya dan masuk ke dalam ruangan. Lalu ia keluar lagi dengan dua cangkir kopi espresso. Bagi kami, ini cara penyajian terbaik untuk menentukan mutu secangkir kopi. Tanpa gula, krim atau susu. Penyajian moccacino, cappuccino, atau machiatto akan menghilangkan aroma asli kopi.
   “très savoureux”, tiba-tiba paman John berdiri dari tempat duduk. Ayah dan wanita Perancis itu terlihat tersenyum. Kemudian dengan tiba-tiba pula Paman John dan wanita tersebut menjadi lebih akrab. Aku tak tahu, kenapa bisa seperti itu. Menurut ayah, semua wanita yang punya pesona biasanya menyembunyikan sesuatu, yakni ketergantungan mereka pada pujian orang lain. Wanita tadi pun bercerita. Kopi yang ia sajikan, langsung ia pesan dari Perancis. Kopi Java memang banyak dikembangkan di Jardin des Plantes zaman raja Louis XIV.
  Ayah tersenyum mendengar penjelasan wanita itu. Ia belum pernah merasakan kenikmatan meminum kopi yang begitu romantisnya. Insipirasinya keluar deras seperti alur air di Tanduk Emas yang sekarang ia pandangi dalam-dalam. Ia ingat lagi semua tema besar buku-buku yang ia kerjakan tapi terbengkalai. Dengan inspirasi begitu jernih, tentu buku-buku tersebut cepat selesai.  Kedua lelaki itu pun saling berhadapan dengan sedikit mencincing bibir seperti menemukan persamaan terbesar mereka.
  “Au revoir” ucap paman John kemudian. Ia mengucapkan salam pada perempuan Perancis tadi ketika meninggalkan kedai. Tapi tampaknya ucapan selamat tinggal itu dengan cepat berarti lain.
  Semenjak itu, ayah berhari-hari membaca buku-buku tentang kopi. Tapi bukan kopi biasa, ia ingin merasakan aroma kopi yang sama seperti di Tanduk Emas. Ia ingin tahu ramuan yang paling pas untuk membuat kopi. “Tapi tentu sulit menemukanya”, Paman John yang sedari tadi duduk di sebelahku memecah keheningan di ruang keluarga rumah kami. Ibu berjalan dari arah dapur, melewati koridor, dan sedikit menyentuh cat tembok yang sedikit terkelupas. Ia membawa dua cangkir kopi espresso. Paman John segera menyereputnya.
  “Tapi aku yakin ada resep rahasia yang tak kita ketahui” kata ayah, merasa belum puas dengan eksperimen kopinya selama ini.
  Semenjak dari Konstantinopel. Ayah tak lagi menemukan kopi seenak buatan kedai wanita Perancis itu. Kopi yang ayah kira sebagai penyulut inspirasi terbesarnya. Meski sudah beberapa kali mendatangi kedai itu lagi, ayah tetap belum menemukan rasa yang pas seperti yang ia minum dulu pertama kali datang.
  Kopi-kopi itu memang terasa enak dan menyegarkan. Tapi ada perasaan berbeda ketika meminumnya. Dan ayah tak pernah lagi menemukan kenikmatan yang pernah ia capai. Ayah selalu menganggap ada misteri di balik kopi yang sulit terpecahkan. Ia bahkan pergi ke Jawa untuk mencoba beberapa kopi disana. Semua kopi itu betul-betul nikmat. Tapi tak ada yang menggetarkan hati ayah seperti getaran pemuda yang memulai kencan pertama. Kopi-kopi itu membawa kenikamatanya sendiri. Dan hanya ada satu kenikmatan terunggul yang ayah tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ramuan seperti itu. “bagaimana bisa ada kopi yang begitu nikmatnya hingga dicaripun tak bisa”,
  “itu hanya kebetulan” Paman John seperti ingin mengakhiri rasa penasaran ayah. Ia selalu menjawab seperti itu, ia sungguh percaya jika semua di dunia hanya sebuah kebetulan.
  “Kita berada di saat dan waktu yang tepat saat meminumnya” lanjutnya.
  Ayah memandang paman John seperti mendengar jawaban terbodoh di hidupnya. Memang saat itu, hari ke tujuh ketika mereka menganggap tak mungkin lagi mendapatkan kopi dengan rasa yang hebat. Ada sedikit bunyi hujan mengetuk-ngetuk atap, dimana burung Flaminggo juga ingin menumpang sejenak, mampir menyereput kopi. Namun ayah tak terlalu peduli dengan suasana itu. Baginya kopi tak butuh suasana, yang paling penting dari meminum kopi adalah lidah, itu saja, bukan suasana.
   “Tetapi tanpa ombak di Marmara dan matahari yang sedikit mengatup” Paman John bertanya.
    Ayah menggaruk-garuk kepala. “Tanpa itu tetap nampak kenikmatanya” kata ayah.
   “Tidak, itu hanya kebetulan. Kebetulan kita sudah teramat lelah dan saat itu menemukan kopi yang pas. Kebetulan juga agak sedikit gerimis, langit mulai gelap, cuaca dingin. Kau bisa bayangkan minum kopi dengan suasana seperti itu ditambah dengan sedikit angin juga ombak, itu pantai yang indah bukan?” 
  Ayah terlihat tidak peduli dengan kata-kata paman John. Kemudian ia berdiri, memandang keluar dari jendela, salju mulai turun dengan intensitas yang relatif padat. Ia pikir sejenak ucapan paman John, lalu melangkah melewati tumpukan buku ke arah tape recorder memutar komposisi Coffee Cantata. Ia membayangkan bagaimana suasana Sebastian Bach saat membuat komposisi itu. Apakah ia juga sebingung dirinya. Ataukah ia tak pernah memikirkan kopi ternikmat di dunia. Tapi, apapun itu, kopi buat Bach pastilah sangat bermakna hingga ia bisa membuat komposisi seindah itu.
  Ruang tamu kami kembali hening. Hanya terdengar nada-nada Bach menabrak-nabrak tembok ruangan. Terlihat tiruan lukisan Erasmus karya Holbein seperti menyindir mereka, tak ada kenyamanan tanpa kegilaan, mungkin begitu kata tokoh humanis abad lima belas belas itu. Ibu meluncur lagi dari arah dapur membawa dua cangkir kopi resep yang lain. Ayah tidak lekas menyereputnya, begitu pula paman John. Mereka mendengarkan dulu nada-nada itu hingga tubuh mereka hanyut tertelan suasana. Setelah hampir sepuluh menit ku lihat mereka seperti patung berkarat, akhirnya mereka teguk juga kopi-kopi itu. Lalu kembali mereka mengernyitkan dahi. Aku sudah hafal tanda macam apa itu. Lalu ibu kembali ke dapur membawa berbagai resep yang ayah tuliskan pada secarik kertas berwarna kecoklatan.
   “Kau yakin dengan resep itu” tanya paman John.
   “tidak” ayah membalas. “bagaimana jika mencarinya lagi”
   “kemana”
   “Ke Seattle, lalu kita lanjutkan ke Brazil, disana pasti ada kopi yang kita cari”.
    Paman John terlihat berbinar mendengar ide ayah. Mereka tampak bersemangat. Hanya aku di ruangan itu yang tidak bersemangat. Ayah pergi di saat musim dingin yang buruk, aku selalu khawatir jika saat Natal ayah belum kembali. Merayakan Natal hanya dengan ibu membuat hari yang spesial itu begitu jenuh. Dan sebagai kompensasinya, ayah sering berjanji membelikan mainan terbaru sebagai kado. Tapi akhir-akhir ini aku lebih sering merasa jika kedatangan ayah tetap lebih baik dari kado itu.
    Sesaat kemudian ibu datang lagi ke ruangan itu. Ia tak hanya membawa dua cangkir kopi tapi empat, satu untuku dan satunya ibu sendiri. Cuaca bertambah dingin menjelang malam. Aku kira minum kopi di saat itu akan cukup melegakan. Dengan cepat aku seruput secangkir kopi espresso itu. Ibu juga. Ia duduk tepat di sebelahku. Kami semua tertawa. Paman John mulai bercerita pengalaman-pengalaman anehnya saat berpetualang ke China. Disana mereka sangat hobi minum kopi, bukan teh seperti yang sering diberitakan. Orang China sangat meminati kopi agar mereka tahan bekerja sepanjang waktu. Bagi mereka tak ada hari tanpa kerja, seakan-akan jika di ijinkan, mereka akan membuat satu hari bukan dua puluh empat jam tapi, dua puluh lima jam atau lebih. Ibu tertawa lebih keras mendengar cerita itu, seperti tak percaya. Lalu ia kembali ke dapur.
   Ia keluar lagi dengan secangkir kopi yang lain dan kucing Persia yang kami dapat dari seorang sahabat tahun lalu. Kucing jenis ini berbulu tebal. Ibu suka memeluknya untuk menghangatkan badan. Kucing itu melenggak-lenggok seakan mengikuti ketukan nada Coffee Cantata. Ia melihat ke arah kami, menciumi tiap benda yang ada di ruangan ini. Kami semua menatapnya, wajahnya bundar, hidungnya masuk ke dalam hingga hanya terlihat seperti dua lubang yang saling berdekatan saja. Bulunya menjuntai hingga ke lantai, ia bertingkah seperti bayi yang baru lahir beberapa hari. Ia membaui kursi, meja, celana paman John hingga buku-buku yang bertebaran di lantai. Itu yang aku suka dari kucing, ia selalu seperti merasa datang pertama kali kedunia.
    “lalu kapan kalian pergi lagi” ibu menyela tawa kami.
    Ayah dan paman John terdiam seperti masing-masing teringat sesuatu. Cangkir-cangkir kopi yang mereka minum kemudian diletakan di meja hingga hanya terlihat ampasnya saja. Kemudian mata ayah melihat seluruh ruangan, sementara paman John terlihat salah tingkah seperti kehilangan sesuatu yang sangat mengesankan persis, seperti pertama kali menikmati kopi dari wanita Perancis itu. Alunan musik Bach berhenti, salju turun teramat deras, matahari sekarang sudah benar-benar tidak terlihat. Kalimat au savoir itu teringat lagi di kepala mereka seakan melewatkan keindahan menikmati kopi. Kedua lelaki itu kemudian berhadapan seperti saling bertanya, kapan kenikmatan meminum kopi yang sebenarnya datang. Tapi mereka tak pernah menjawabnya, mereka juga tak tahu bagaimana membuat kopi yang benar. Mereka pun berniat tetap mencoba mencari resep membuat kopi terbaik di dunia, meski tak tahu kapan menemukanya. Mungkin hanya kucing keluarga kami yang terus mengendus-endus serupa ingin mengatakan disinilah kenikmatanya. Sementara aku terus menyeruput kopi, kurasakan lagi. Itu kopi yang paling nikmat yang pernah kucoba. Atau anggapanku saja salah, itu terasa nikmat karena mendadak juga ayah tak hendak berpetualang ke Brazil musim dingin kali ini. Entahlah, tapi bukan seperti kebetulan. Minuman hebat sering ditemukan orang yang kebingungan.


Santri Ilang, Jember, 26 Februari 2010 

Selasa, 08 Oktober 2013

Moeki dan penanya

“ Sayang….

Antarkan aku ketempat yang kau bicarakan itu

Dimana kita tak pernah menemukan keributan dan ketamakan

Hanya ada nyanyian merdu..

Yang buat kita tertawa lepas tak resah….”

Caaaaaaaaaaaaaaaaakkk…………..”

Teriakan itu telah membuat Moeki menghentikan tarian pena-nya, padahal dia baru mengawali bait puisi yang sedianya akan ia gunakan untuk melengkapi tugas yang dibebankan padanya dari sekolah.

“Ooooooiiiiii… Masuklah... tak usah teriak…” sahut Moeki dari dalam kamarnya.

Selang beberapa menit, pintu kamar Moeki berderit. Muncul Somat, sosok pria muda yang terlihat lebih tua karena kumis dan jambang yang dibiarkan lebat menutupi wajahnya. Padahal kalau di kalkulasi, dia masih 4 tahun lebih muda dari pada Moeki.

“Hehehe… ku kira kamu sudah dikerubuti lalat cak” Jawab Somat.

Jiamput,, gak liat aku sedang mencoba tuk berpuisi..” jawab Moeki dengan intonasi datar.

“Eiitss,,, Puisi katamu.. yang bener cak,,??? Hahaha…” jawab Somat.

Seketika pecah kesenyapan di kamar Moeki, karena suara tawa Somat yang besar dan keras itu.

“Iya,, Puisi,, padahal aku ini tak pandai untuk urusan mempermainkan dan mempermanis kata..” sahut Moeki dengan sedikit nggrundel.

“Hahaha.. tugas dari orang itu ya kan..???” seloroh Somat.

“Iya, tugas dari Mister van Buler, sekaligus jadi beban buatku,,” kata Moeki.

“Nah lho.. kenapa harus menjadi beban cak..?” seloroh Somat

“Bagaimana gak jadi beban, kalau otak ini dipaksa untuk membuat kata-kata manis yang berisi khayalan-khayalan tak jelas. Padahal disisi lain aku lebih suka sebuah tindakan nyata dari pada harus berkhayal ngalor-ngidul” terang Moeki

“Hahaha... kalau menurutku itu sebuah tantangan cak.. soale itu bisa menjadi bukti kalau kita bisa..” seloroh Somat

Saat Somat sedang ngoceh panjang lebar perkara tantangan, Moeki kembali menggerakkan penanya. Dia kembali meneruskan bait kedua dan ketiga puisinya.

Saat engkau tersenyum

Walau senyum itu lirih..

Walau senyum itu tak penuh..

Aku rasa kaulah tempat yang paling ku tuju..

Terkadang Aku masih saja merindukan senyummu

Dari kejauhan..

Saat kita terpisah sejenak oleh rutinitas yang kita lakukan

Tapi memang begitulah adanya..

Aku begitu tenang saat senyum itu muncul dari kejauhan"

Celoteh Somat ternyata sangat membantu Moeki menyelesaikan tugasnya hari itu. Senyum mulai menarik otot-otot wajah Moeki, yang dari tadi kaku tak karuan. Moeki melontarkan senyumnya pada Somat, seraya itu dia berkata pada Somat,

“Hehe, mat,,, matur nuwun ocehanmu telah memberiku kata-kata manis itu hahaha… ”

“Ah,, kamu ngomong apa kang… aku ndak paham…” sambil garuk garuk kepala

Dua anak muda itu kemudian tertawa. Tawa yang tak pernah bisa kita dapatkan dengan menonton ketoprak atau apalah itu namanya. Tawa kebebasan yang terkadang sangat orang orang idamkan sampai kapanpun. Yah,,, tawa itu adalah tawa yang jarang sekali terdengar dari mereka. 


Posted via Blogaway

Kamis, 03 Januari 2013

Fairytale Part 6 (Senja dalam Keterasingan)


Menjumput dari annisareswara.blogspot.com
Ada keterasingan menatap paras yang tak lagi bergas.
Ya.. ia tak lagi kekar
Saat cerah sembunyikan parah.
Yang sunyi pun bernyanyi.
Dingin itu renyah, dan panas ini kolot.
Segala peluh yg penuh jenuh.
Neisja merindu dalam keterasingannya.
Asing yang gempita, tampak masive menutup bumi.
Senja bergeliat dalam keterasinganny.

Ya..
Ada keterasingan saat Neisja mengukir langkah di bawah rimbunan akasia
Senja yang ia simpan,
Masih menderu, meronta ingin lepas dari keterasingan
Detakannya, masih mampu tercumbu,
Ya... tercumbu
Walau Neisja telah sembunyikan senja dibalik rumbai gaunnya.
Dan senja dipaksa untuk memenuhi segala apa yang ada disampingnya.

Jumat, 15 Juli 2011

"Fairytale Part 5"


Dalam hembusan sinar sang surya
Kelopak sang rembulanpun terkelupas jatuh berhamburan ke bumi
Mentaripun terkadang masih sempat saja tuk tersipu
Dan Rembulanpun juga bisa tegas dalam saatnya

Engkau pasti mengetahui mengapa
Para kurcaci masih saja memilih tuk bersembunyi
Di tengah rimbunan hutan Neverlanda
Yang pekat dan mungkin juga keramat
                                                Keramat bagi kita

Dan tahukah engkau saat mereka menyadari keberadaan kita
Mereka memilih tuk berlari dan terus berlari menujuh jantung hutan itu
Dan ketika mereka sudah terpojok akan kita,
mereka terpaksa harus melawan

Dan mereka dengan terpaksa pula mengucap mantra terlarang itu.......

Survey the heaven and let them open
Through the radiance of the heavens' countless stars
Make thyself known unto me
Tetra Biblos, the one with the dominion over the stars
Release thine aspects, a gate of perfect malevolence
By the eighty-eight signs of the heavens
Shine Urano Meteoria

Seketika pendaran cahaya itu menerpa kita
Sinar yang butakan mata
Hingga kita tak lagi mampu memandang
                                           Sekeliling kita bahkan tubuh kita sendiri

Tak sadarkan diri, lemah, tak berdaya
                                               Tapi tak mati.................................................

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More