Menurut
sebuah cerita kuno di Etiopia, suatu senja di abad ketiga. Seorang pengembala
mendapati kambingnya memakan biji-bijian berwarna merah mengkilap. Hewan
peliharaan itu senang dan menari-nari memakan biji tersebut. Dengan rasa
penasaran berlipat, pengembala itu mencoba biji-bijian yang dimakan kambingnya.
Hal ajaib terjadi, beberapa saat kemudian, mereka telah menari bersama dan
minuman bernama kopi pun muncul ke bumi. Di Cina, seiring waktu, legenda itu
bisa sedikit berubah. Saat matahari beranjak musnah, musim dingin yang
keterlaluan memaksa kaisar Sheng Nung menghabisinya dengan minuman hangat. Ia
kemudian meminta dayang untuk menyeduh sesuatu. Lalu, seperti tiba-tiba,
sepucuk daun teh jatuh di cangkirnya. Tapi, apapun itu maknanya sama; semua minuman
hebat selalu ditemukan orang yang sedang bingung menjelang malam.
Termasuk ayah. Sore itu aku
melihatnya kebingungan di hadapan beberapa buku. Aku tahu diantaranya, tapi
lebih banyak yang tak ku ketahui. Termasuk tulisan terbaru Thomson, berjudul Understanding
Food: Principles and Preparation. Ia tampak sibuk mencari-cari kalimat yang
pas untuk mewujudkan penemuanya. Akhir-akhir ini ayah sedang tergila-gila pada
kopi. Ia ingin mencari cara terbaik menyajikan kopi. Aku memandanginya dengan
serius. Ku kira orang sudah begitu gila jika sedang berfokus pada sebuah hal. Tiap
kali menemukan catatan yang tepat ia akan mengepalkan tanganya seperti meninju
langit meneriakan sesuatu, dan tiap kali itu juga aku melontarkan pertanyaan
pada ayahku yang sabar dan tahu segalanya. Siapa itu Aucuba ayah ?. Ia lelaki
yang bertemu si pengembala. Kemudian
membawa biji-biji kopi itu ke Timur-Tengah. Dari sana, kekaisaran Turki Ottoman
memperkenalkanya di konstantinopel dan membuka Kiva Han . Apa itu Kiva Han
ayah? Ia semacam kedai khusus kopi yang berdiri pertama kali. Konon, di tempat
itulah kopi ternikmat di dunia pernah dibuat. Sekarang kau tak usah pergi
kesana untuk mendapatkan kopi, mungkin itu semacam cikal bakal StarBuck.
Aku menatap ayah dengan
penjelasanya yang membuatku lebih penasaran. Ia menunjukan lambang StarBuck,
mirip secangkir kopi yang masih hangat. Di tempat itu ayah sering berdiskusi
dengan paman John. Ia seorang pemikir kelas kakap. Orang tuanya memberinya nama
John untuk mengingat kapten John Smith yang memperkenalkan minuman kopi di Amerika Utara saat bertugas menemukan koloni Virginia di Jamestown. Keluarganya
adalah penggemar berat kopi, termasuk ia sendiri. Orang-orang penggila kopi
macam mereka biasanya cukup cerdas. Mereka jarang tidur saat malam, dan
menghabiskanya untuk membaca buku. Paman John juga sangat betah membaca. Ia
sudah mirip kaum nastik yang berjalan dari kota ke kota, dusun ke dusun mencari
murid atau lawan debat filsafat. Orang jenis ini adalah pendebat yang tangguh. Ia
meragukan banyak hal, termasuk asal usulnya. Paman John tak percaya jika
leluhur manusia berasal dari surga. Ia seorang atheis sejati, penggemar
sejarawan Roel Jacobs, yang menertawakan keaslian kanal Rozenhoedkai di Bruges.
Atau mungkin, ia lebih mirip dengan pemuda amerika kebanyakan pada zamanya.
Orang modern hanya percaya ilmu pengetahuan.
Biasanya, jika sudah berdebat
cukup lama. Ayahku selalu mengakhirinya dengan kutipan Einstein, orang yang tak
percaya misteri adalah mereka yang tak hidup. Itu adalah kata pamungkas ayah
untuk membuat paman John semakin terdesak. Dari sini terlihat perbedaan yang
sangat antara ayah dan paman John. Kemudian dengan lagak seperti patung The Thinker yang tiruanya ada di sisi
sebelah barat cafe, paman John akan membuat sejumlah dalih yang mengesankan
untuk membuktikan kegagalan Einstein, tentunya setelah menarik diri dari Fisikawan
kuantum. “Einstein salah ketika ia memutuskan jika di dunia tak ada yang
kebetulan”. Begitu bicaranya cepat.
Aku terus tertawa mendengar
perdebatan mereka. Barulah aku tahu, jika orang-orang pintar akan terlihat
bodohnya ketika mereka saling bertatap muka.
Mereka sebenarnya telah
bersahabat cukup lama. Kalaupun ada hal yang membuat mereka terus bersahabat,
itu hanya karena dua hal saja, yang pertama tentu kopi, dan kedua adalah
petualangan. Pernah sangking gilanya pada kopi, ayah dan paman John pergi ke
Konstantinopel untuk membuktikan apa Kiva Han memang pernah ada. Mereka ingin
menikmati seteguk kopi dari peradaban yang sangat purba. Meski sebenarnya, yang
tertarik pada hal ini hanya ayah, sedang paman John tak percaya jika ada
asal-usul segala sesuatu. Disana ia hanya ingin menikmati kopi saja, tak lebih
dari itu, apalagi untuk menyelidiki Kiva Han atau membuktikan keaslian
patung-patung wanita seronok di pusat kota yang konon adalah peninggalan bangsa
Romawi. Tapi jika memang di alun-alun yang dulu bernama Augustaeum itu benar
warisan asli Romawi. Ia pun akan cepat menebak jika orang Romawi adalah bangsa
yang hobi terburu-buru. Disana-sini memang terlihat patung, ubin, dan
pilar-pilar pualam yang designnya sulit dikatakan, tapi jelas terlihat juga. Semua
benda seperti di letakan begitu saja, tanpa perencanaan dan pertimbangan yang
matang. Seperti kebetulan tentu.
Menurut cerita ayah, ia berada
disana hampir tujuh hari. Ia akan tertawa sendiri tiap kali bercerita tentang
kegeraman paman John dengan alun-alun itu. Selebihnya ia akan diam saja. Ayah
tidak pernah menyelesaikan seluruh ceritanya, ia hanya bercerita yang teringat
saja, bukan yang dialami seluruhnya. Pada hari-hari itu, mereka berkeliling
alun-alun Konstantinopel dan sedikit menikmati peninggalan tempat pacuan kuda
di Hippodromos, pemandian Zeuxippus yang
terkenal hingga Tanduk Emas. Dari tempat terakhir ini, Konstantinopel tampak seperti
kota yang terapung di atas air, sementara pucuk-pucuk langit seperti
mencelupkan jari-jarinya dari atas, mirip orang yang hendak merasakan apakah
minumannya sudah dingin atau panas. Di daerah sepanjang Tanduk Emas, terdapat
kedai-kedai kecil di pinggirnya. Dengan Laut Marmara di
sisi barat, muara itu membentuk semenanjung dengan pelabuhan alam yang dalam. Saat
malam, disini akan tampak berkilauan jika dilihat dari menara Galata,
hampir-hampir serupa Fort Knox.
Ayah dan paman John, berkali-kali
keluar masuk kedai kopi. Dan tiap kali keluar kedai-kedai tersebut, ekspresi
mereka sama, mengernyitkan dahi dan mengeleng-gelengkan kepala. Barangkali ini bisa
jadi persamaan ketiga mereka. Lalu mereka bilang, “kopi Arabica atau Robusta
yang tak terlalu spesial”.
Sebetulnya, perjalanan itu juga
tak terlalu sia-sia. Pada hari ke tujuh, saat mereka merasa sudah tidak bisa
menemukan kopi yang hebat, keajaiban muncul. Keajaiban memang muncul di jam-jam
akhir, ketika orang berada pada puncak kebingungan”, begitu kata ayah.
Dari sini, soal kopi, ayah dan
paman John memang mempunyai banyak kemiripan. Kepala mereka seperti terpasang
antenna belalang untuk mengenali mana kopi yang baik atau tidak. Dan, di
wilayah itu mereka menemukanya bukan di café yang berinterior elegan dengan
panduan musik Fedorovinsky, tapi hanya
kedai kopi kecil bearoma eucalyptus. Mereka memasuki kedai itu dengan tergesa.
Di dalam ada beberapa pelanggan. Dari sebuah sudut jendela dua burung flamingo
yang satu berwarna putih, dan satunya berwarna zaitun cerah tertimpa terpaan
matahari sore seakan mengamati orang-orang yang sedang menyereput kopi sambil
terkikik. Lalu seorang wanita yang cukup cantik, rambutnya ikal, jelas masih
terlihat sisa pesonanya saat muda. Kini, mungkin ia berumur sekitar tiga puluhan,
dan pesona itu tetap ada, hanya saja telah tergantikan dengan pesona yang lain:
kehebatan meramu kopi. Kemudian ia memberikan daftar kopi yang ada di kedai. Wanita
itu mencatat pesanan kami, bicaranya khas Perancis dengan logat seperti jakun
yang hampir tertelan. Tampaknya, ia tak terlalu menyukai tamu berbahasa Inggris
seperti kami. Kami kemudian memesan kopi Java. Di kedai ini kopi Java menjadi
menu utama.
Perempuan itu lalu membalikan
tubuhnya dan masuk ke dalam ruangan. Lalu ia keluar lagi dengan dua cangkir
kopi espresso. Bagi kami, ini cara penyajian terbaik untuk menentukan mutu
secangkir kopi. Tanpa gula, krim atau susu. Penyajian moccacino, cappuccino,
atau machiatto akan menghilangkan aroma asli kopi.
“très
savoureux”, tiba-tiba paman John berdiri dari tempat duduk. Ayah dan wanita
Perancis itu terlihat tersenyum. Kemudian dengan tiba-tiba pula Paman John dan
wanita tersebut menjadi lebih akrab. Aku tak tahu, kenapa bisa seperti itu.
Menurut ayah, semua wanita yang punya pesona biasanya menyembunyikan sesuatu,
yakni ketergantungan mereka pada pujian orang lain. Wanita tadi pun bercerita. Kopi
yang ia sajikan, langsung ia pesan dari Perancis. Kopi Java memang banyak
dikembangkan di Jardin des Plantes zaman raja
Louis XIV.
Ayah tersenyum mendengar
penjelasan wanita itu. Ia belum pernah merasakan kenikmatan meminum kopi yang
begitu romantisnya. Insipirasinya keluar deras seperti alur air di Tanduk Emas
yang sekarang ia pandangi dalam-dalam. Ia ingat lagi semua tema besar buku-buku
yang ia kerjakan tapi terbengkalai. Dengan inspirasi begitu jernih, tentu
buku-buku tersebut cepat selesai. Kedua
lelaki itu pun saling berhadapan dengan sedikit mencincing bibir seperti
menemukan persamaan terbesar mereka.
“Au revoir” ucap paman John
kemudian. Ia mengucapkan salam pada perempuan Perancis tadi ketika meninggalkan
kedai. Tapi tampaknya ucapan selamat tinggal itu dengan cepat berarti lain.
Semenjak itu, ayah berhari-hari membaca
buku-buku tentang kopi. Tapi bukan kopi biasa, ia ingin merasakan aroma kopi
yang sama seperti di Tanduk Emas. Ia ingin tahu ramuan yang paling pas untuk
membuat kopi. “Tapi tentu sulit menemukanya”, Paman John yang sedari tadi duduk
di sebelahku memecah keheningan di ruang keluarga rumah kami. Ibu berjalan dari
arah dapur, melewati koridor, dan sedikit menyentuh cat tembok yang sedikit
terkelupas. Ia membawa dua cangkir kopi espresso. Paman John segera
menyereputnya.
“Tapi aku yakin ada resep rahasia
yang tak kita ketahui” kata ayah, merasa belum puas dengan eksperimen kopinya
selama ini.
Semenjak dari Konstantinopel. Ayah
tak lagi menemukan kopi seenak buatan kedai wanita Perancis itu. Kopi yang ayah
kira sebagai penyulut inspirasi terbesarnya. Meski sudah beberapa kali mendatangi
kedai itu lagi, ayah tetap belum menemukan rasa yang pas seperti yang ia minum
dulu pertama kali datang.
Kopi-kopi itu memang terasa enak
dan menyegarkan. Tapi ada perasaan berbeda ketika meminumnya. Dan ayah tak
pernah lagi menemukan kenikmatan yang pernah ia capai. Ayah selalu menganggap
ada misteri di balik kopi yang sulit terpecahkan. Ia bahkan pergi ke Jawa untuk
mencoba beberapa kopi disana. Semua kopi itu betul-betul nikmat. Tapi tak ada
yang menggetarkan hati ayah seperti getaran pemuda yang memulai kencan pertama.
Kopi-kopi itu membawa kenikamatanya sendiri. Dan hanya ada satu kenikmatan terunggul
yang ayah tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ramuan seperti itu. “bagaimana
bisa ada kopi yang begitu nikmatnya hingga dicaripun tak bisa”,
“itu hanya kebetulan” Paman John
seperti ingin mengakhiri rasa penasaran ayah. Ia selalu menjawab seperti itu,
ia sungguh percaya jika semua di dunia hanya sebuah kebetulan.
“Kita berada di saat dan waktu
yang tepat saat meminumnya” lanjutnya.
Ayah memandang paman John seperti
mendengar jawaban terbodoh di hidupnya. Memang saat itu, hari ke tujuh ketika
mereka menganggap tak mungkin lagi mendapatkan kopi dengan rasa yang hebat. Ada
sedikit bunyi hujan mengetuk-ngetuk atap, dimana burung Flaminggo juga ingin
menumpang sejenak, mampir menyereput kopi. Namun ayah tak terlalu peduli dengan
suasana itu. Baginya kopi tak butuh suasana, yang paling penting dari meminum
kopi adalah lidah, itu saja, bukan suasana.
“Tetapi tanpa ombak di Marmara
dan matahari yang sedikit mengatup” Paman John bertanya.
Ayah menggaruk-garuk kepala. “Tanpa
itu tetap nampak kenikmatanya” kata ayah.
“Tidak, itu hanya kebetulan.
Kebetulan kita sudah teramat lelah dan saat itu menemukan kopi yang pas.
Kebetulan juga agak sedikit gerimis, langit mulai gelap, cuaca dingin. Kau bisa
bayangkan minum kopi dengan suasana seperti itu ditambah dengan sedikit angin
juga ombak, itu pantai yang indah bukan?”
Ayah terlihat tidak peduli dengan
kata-kata paman John. Kemudian ia berdiri, memandang keluar dari jendela, salju
mulai turun dengan intensitas yang relatif padat. Ia pikir sejenak ucapan paman
John, lalu melangkah melewati tumpukan buku ke arah tape recorder memutar
komposisi Coffee Cantata. Ia
membayangkan bagaimana suasana Sebastian Bach saat membuat komposisi itu. Apakah
ia juga sebingung dirinya. Ataukah ia tak pernah memikirkan kopi ternikmat di
dunia. Tapi, apapun itu, kopi buat Bach pastilah sangat bermakna hingga ia bisa
membuat komposisi seindah itu.
Ruang tamu kami kembali hening. Hanya
terdengar nada-nada Bach menabrak-nabrak tembok ruangan. Terlihat tiruan
lukisan Erasmus karya Holbein seperti menyindir mereka, tak ada kenyamanan
tanpa kegilaan, mungkin begitu kata tokoh humanis abad lima belas belas itu. Ibu
meluncur lagi dari arah dapur membawa dua cangkir kopi resep yang lain. Ayah
tidak lekas menyereputnya, begitu pula paman John. Mereka mendengarkan dulu
nada-nada itu hingga tubuh mereka hanyut tertelan suasana. Setelah hampir
sepuluh menit ku lihat mereka seperti patung berkarat, akhirnya mereka teguk
juga kopi-kopi itu. Lalu kembali mereka mengernyitkan dahi. Aku sudah hafal
tanda macam apa itu. Lalu ibu kembali ke dapur membawa berbagai resep yang ayah
tuliskan pada secarik kertas berwarna kecoklatan.
“Kau yakin dengan resep itu”
tanya paman John.
“tidak” ayah membalas. “bagaimana
jika mencarinya lagi”
“kemana”
“Ke Seattle, lalu kita lanjutkan
ke Brazil, disana pasti ada kopi yang kita cari”.
Paman John terlihat berbinar
mendengar ide ayah. Mereka tampak bersemangat. Hanya aku di ruangan itu yang
tidak bersemangat. Ayah pergi di saat musim dingin yang buruk, aku selalu
khawatir jika saat Natal ayah belum kembali. Merayakan Natal hanya dengan ibu
membuat hari yang spesial itu begitu jenuh. Dan sebagai kompensasinya, ayah
sering berjanji membelikan mainan terbaru sebagai kado. Tapi akhir-akhir ini
aku lebih sering merasa jika kedatangan ayah tetap lebih baik dari kado itu.
Sesaat kemudian ibu datang lagi ke
ruangan itu. Ia tak hanya membawa dua cangkir kopi tapi empat, satu untuku dan
satunya ibu sendiri. Cuaca bertambah dingin menjelang malam. Aku kira minum
kopi di saat itu akan cukup melegakan. Dengan cepat aku seruput secangkir kopi
espresso itu. Ibu juga. Ia duduk tepat di sebelahku. Kami semua tertawa. Paman
John mulai bercerita pengalaman-pengalaman anehnya saat berpetualang ke China. Disana
mereka sangat hobi minum kopi, bukan teh seperti yang sering diberitakan. Orang
China sangat meminati kopi agar mereka tahan bekerja sepanjang waktu. Bagi mereka
tak ada hari tanpa kerja, seakan-akan jika di ijinkan, mereka akan membuat satu
hari bukan dua puluh empat jam tapi, dua puluh lima jam atau lebih. Ibu tertawa
lebih keras mendengar cerita itu, seperti tak percaya. Lalu ia kembali ke dapur.
Ia keluar lagi dengan secangkir
kopi yang lain dan kucing Persia yang kami dapat dari seorang sahabat tahun
lalu. Kucing jenis ini berbulu tebal. Ibu suka memeluknya untuk menghangatkan
badan. Kucing itu melenggak-lenggok seakan mengikuti ketukan nada Coffee Cantata. Ia melihat ke arah kami,
menciumi tiap benda yang ada di ruangan ini. Kami semua menatapnya, wajahnya
bundar, hidungnya masuk ke dalam hingga hanya terlihat seperti dua lubang yang
saling berdekatan saja. Bulunya menjuntai hingga ke lantai, ia bertingkah
seperti bayi yang baru lahir beberapa hari. Ia membaui kursi, meja, celana
paman John hingga buku-buku yang bertebaran di lantai. Itu yang aku suka dari
kucing, ia selalu seperti merasa datang pertama kali kedunia.
“lalu kapan kalian pergi lagi”
ibu menyela tawa kami.
Ayah dan paman John terdiam
seperti masing-masing teringat sesuatu. Cangkir-cangkir kopi yang mereka minum
kemudian diletakan di meja hingga hanya terlihat ampasnya saja. Kemudian mata
ayah melihat seluruh ruangan, sementara paman John terlihat salah tingkah
seperti kehilangan sesuatu yang sangat mengesankan persis, seperti pertama kali
menikmati kopi dari wanita Perancis itu. Alunan musik Bach berhenti, salju
turun teramat deras, matahari sekarang sudah benar-benar tidak terlihat.
Kalimat au savoir itu teringat lagi di kepala mereka seakan melewatkan
keindahan menikmati kopi. Kedua lelaki itu kemudian berhadapan seperti saling
bertanya, kapan kenikmatan meminum kopi yang sebenarnya datang. Tapi mereka tak
pernah menjawabnya, mereka juga tak tahu bagaimana membuat kopi yang benar. Mereka
pun berniat tetap mencoba mencari resep membuat kopi terbaik di dunia, meski
tak tahu kapan menemukanya. Mungkin hanya kucing keluarga kami yang terus
mengendus-endus serupa ingin mengatakan disinilah kenikmatanya. Sementara aku
terus menyeruput kopi, kurasakan lagi. Itu kopi yang paling nikmat yang pernah
kucoba. Atau anggapanku saja salah, itu terasa nikmat karena mendadak juga ayah
tak hendak berpetualang ke Brazil musim dingin kali ini. Entahlah, tapi bukan
seperti kebetulan. Minuman hebat sering ditemukan orang yang kebingungan.
Santri Ilang, Jember, 26 Februari 2010